Samarinda Dalam Bingkai Sejarah

Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, memiliki sejarah panjang yang mencerminkan perpaduan budaya lokal, migrasi, dan perkembangan kolonial.

Tonggak Sejarah Kutai dan Samarinda

Sebelum dikenanya nama Samarinda, kawasan ini termasuk dalam Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri pada tahun 1300 M di Kutai Lama, sebuah kawasan di hilir Sungai Mahakam dari arah tenggara Samarinda.

Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan daerah taklukan (vasal) dari Kerajaan Banjar yang semula bernama Kerajaan Negara Dipa, ketika dipimpin oleh Maharaja Suryanata, sezaman dengan era Kerajaan Majapahit (abad ke-14 - 15 M).

Pusat Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama semula di Jahitan Layar, kemudian berpindah ke Tepian Batu pada tahun 1635, setelah itu pindah lagi ke Pemarangan (Jembayan) pada tahun 1732, terakhir di Tenggarong sejak tahun 1781 hingga 1960. Penduduk awal yang mendiami Kalimantan bagian timur adalah Suku Kutai Kuno yang disebut Melanti termasuk ras Melayu Muda (Deutro Melayu) sebagai hasil percampuran ras Mongoloid, Melayu, dan Wedoid yang migrasi dari Semenanjung Kra pada abad ke-2 Sebelum Masehi (SM).

Enam kampung awal di Samarinda dan penghuninya

Pada abad ke-13 Masehi (tahun 1201-1300), sebelum dikenanya nama Samarinda, sudah ada perkampungan penduduk di enam lokasi yaitu:

  1. Pulau Atas;
  2. Karang Asam;
  3. Karamumus (Karang Mumus);
  4. Luah Bakung (Loa Bakung);
  5. Sembuyutan (Sambutan)c dan
  6. Mangkupelas (Mangkupalas)

Penyebutan enam kampung di atas tercantum dalam manuskrip (naskah) surat Salasilah Raja Kutai Kartanegara yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 30 Rabiul Awal 1265 H (24 Februari 1849 M), yang kemudian dikutip oleh ahli sejarah berkebangsaan Belanda, C.A. Mees.

Selengkapnya

Masuknya Orang Banjar Ke Samarinda

Suku Banjar adalah suku bangsa yang menempati wilayah Kalimantan Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur.

Keberadaan suku Banjar di Samarinda dan daerah lainnya di Kalimantan Timur tidak dikategorikan sebagai kaum pendatang karena sebelum pembentukan provinsi-provinsi pada tahun 1957, Pulau Kalimantan ecuali daratan Malaysia dan Brunei merupakan satu provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni Kalimantan dengan ibukota Banjarmasin.

Suku Banjar adalah suku asli di Pulau Kalimantan. Sementara itu, Samarinda bagian dari Kalimantan Timur; dan Kalimantan Timur bagian dari Kalimantan. Maka, suku Banjar di Samarinda dalam konteks geografis bisa disebut suku asli.

Pada tahun 1565, terjadi migrasi (perpindahan penduduk) suku Banjar dari Batang Banyu ke daratan Kalimantan bagian timur. Ketika itu rombongan Banjar dari Amuntai di bawah pimpinan Aria Manau dari Kerajaan Kuripan (Hindu) merintis berdirinya Kerajaan Sadurangas (Pasir Balengkong) di daerah Paser. Selanjutnya suku Banjar juga menyebar di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, yang di dalamnya meliputi kawasan di daerah yang sekarang disebut Samarinda. Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya bahasa Banjar sebagai bahasa dominan mayoritas masyarakat Samarinda di kemudian hari, walaupun telah ada beragam suku yang datang, seperti Bugis dan Jawa.

Awal pemukiman suku Banjar di daerah Kalimantan bagian Timur dimulai sejak Kerajaan Kutai Kartanegara berada dalam otoritas (kekuasaan) Kerajaan Banjar setelah runtuhnya Kesultanan Demak pada tahun 1546 Masehi. Hal ini dinyatakan oleh tim peneliti dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 1976.

Sampai pertengahan abad ke-17 (dekade 1650-an), wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk yang pada umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan Karang Asam.

Selengkapnya

Kedatangan Orang Bugis Wajo Ke Samarinda

Riwayat kedatangan rombongan Bugis Wajo pertama kali ke Samarinda terdiri atas bermacam-macam versi.

Versi ke-1 dari tim penyusun sejarah Samarinda yang mengadakan seminar pada 21 Agustus 1987 memutuskan, telah terjadi peristiwa kedatangan rombongan Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara pada 21 Januari 1668. Tanggal tersebut lalu ditetapkan sebagai hari jadi Samarinda. Latar belakang perantauan orang-orang dari tanah Kesultanan Gowa (Sulawesi Selatan) itu karena menolak Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah dalam perang melawan pasukan Belanda.

Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini berdasarkan estimasi/asumsi pelayaran selama 64 hari ditambahkan sejak tanggal 18 November 1667, sehingga diperoleh tanggal 21 Januari 1668.

Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini kemudian mendapat legitimasi politis pada saat kepemimpinan Walikota Samarinda Drs. H. Andi Waris Husain dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat I| Samarinda Nomor 1 tahun 1988 pasal 1 yang berbunyi: "Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban 1078 Hijriyah".

Raja Kutai saat itu, Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura mengabulkan permintaan tersebut kemudian memberikan lokasi kampung dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan kepada mereka. Kesepakatannya, orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama dalam menghadapi musuh.

Semula rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (sekarang daerah pesisir Selili). Tetapi daerah ini terdapat kesulitan dalam pelayaran karena daerah yang arusnya berputar (berulak) dan banyak kotoran sungai. Selain itu terlindung oleh ketinggian Gunung Selili. Dengan kondisi seperti itu, Raja Kutai memerintahkan La Mohang Daeng Mangkona bersama pengikutnya membuka perkampungan di tanah rendah bagian seberang Samarinda. La Mohang Daeng Mangkona mulai membangun daerah baru itu dengan bantuan seluruh pengikutnya.

Versi ke-2 menurut catatan Kesultanan Kutai Kartanegara, waktu kedatangan rombongan Bugis Wajo di Samarinda pertama kali terjadi pada tahun

1708, pada masa Raja Adji Pangeran Anum Panji Mendapa.

Versi ke-3 menurut berita lisan atau cerita rakyat, rombongan Bugis Wajo merantau ke Samarinda pada masa pemerintahan Raja Kutai Aji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa ing Martadipura (1730-1732). Latar belakang hijrahnya La Mohang Daeng Mangkona ke Samarinda Seberang disebabkan kepadatan pemukiman para pendatang Bugis Wajo di Muara Sungai Kendilo, daerah Paser. Sebelumnya, mereka migrasi dari Wajo di bawah pimpinan La Maddukkelleng karena negeri kelahirannya dikuasai oleh Kerajaan Bone akibat serangan Bone setelah kasus penikaman seorang bangsawan Bone oleh La Maddukkelleng pada sebuah acara pesta sabung ayam.

Versi ke-4 menurut kutipan C.A. Mees, permintaan izin orang Bugis dengan Raja Kutai berlangsung di Jembayan, yang berarti pertemuan ini terjadi minimal pada tahun 1732, sesuai dengan catatan sejarah bahwa pusat kerajaan dari Kutai Lama dipindahkan ke Jembayan pada tahun 1732-1782.

Kemudian, pemimpin orang Bugis yang disetujui sebagai Pua Ado adalah Anakoda Tujing, bukan La Mohang Daeng Mangkona.

Selengkapnya

Asal-usul Nama Samarinda

Ada beraneka versi mengenai latar belakang terciptanya nama Samarinda.

Versi pertama berdasarkan persamaan ukuran tinggi rumah-rumah rakit/terapung penduduk Bugis Wajo di Samarinda Seberang yang tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lain, sehingga disebut "sama-rendah", yang juga bermakna tatanan kemasyarakatan yang egaliter.

Versi kedua berdasarkan persamaan ukuran tinggi Sungai Mahakam dengan daratan di tepiannya yang sama-sama rendah. Sampai awal dasawarsa tahun 1950-an setiap air Sungai Mahakam pasang naik, sebagian besar jalan-jalan di Samarinda selalu terendam air. Terlebih lagi jika sedang pasang besar, ada beberapa jalur jalan yang sama sekali tidak dapat dilintasi kendaraan karena ketinggian air yang merendamnya. Guna menanggulangi masalah tersebut, sejak awal 1950-an dilakukan penurapan lalu jalan ditinggikan hingga berkali-kali. Pada tahun 1978 ketinggian total bertambah 2 meter dari permukaan awal sehingga jalan tidak lagi terendam kecuali Mahakam pasang luar biasa.

Versi ketiga berdasarkan asal kata dari bahasa Sansekerta, yaitu "Samarendo" yang berarti selamat sejahtera.

Versi keempat berdasarkan cerita rakyat bahwa nama Samarinda berasal dari bahasa Melayu dari kata "samar" dan "indah".

Sampai menjelang akhir abad ke-20 atau sekitar dekade 1980-an warga mash menyebut Samarinda dengan lafal "Samarenda" (pengucapan huruf

"e" seperti pada kata "beta") walaupun dalam bahasa penulisannya sudah berubah menjadi "Samarinda".

Selengkapnya

Era Kolonial Belanda

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Kesultanan Kutai Kartanegara melalui Sultan Muhammad Salehuddin menyatakan takluk kepada pemerintahan Belanda setelah kalah dalam pertempuran di Tenggarong. Gubernemen Belanda menempatkan Assistant Resident di Palarang untuk mengawasi wilayah Kerajaan Kutai di bagian timur. Palarang yang dimaksud adalah kawasan yang sekarang dikenal dengan Kecamatan Palaran, Kelurahan Rawa Makmur dengan jarak 8 mil (sekitar 13 kilometer) di hilir samarinda. Pejabat Assistant Resident pertama adalah H. Van de Wall sebagai wakil dari Resident der Zuider-en ooster-Afdeeling van Borneo. Belanda menetapkan wilayah Palarang sebagai pusat pemerintahan di Afdeeling Oost-Borneo karena merintis eksploitasi arang batu yang cukup potensial di sana.

Kedudukan Assistant Resident di Palarang yang melakukan pengawasan penuh terhadap Kesultanan Kutai berlangsung sampai tahun 1870.

Selanjutnya, kedudukannya dipindahkan ke daerah seberang dari Palarang, yakni Samarinda kota sekarang. Tahun 1888 sempat dimulai penambangan batu bara di Palarang.

Pada pertengahan abad ke-19, situasi Samarinda terutama bagian pesisir Sungai Mahakam berada dalam suasana mencekam karena kondisi keamanan yang tidak stabil. Perampokan, pembajakan, penculikan, hingga perbudakan merupakan perilaku barbar yang marak terjadi.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 75 tanggal 16 Agustus 1896 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum

A.D.H. Heringa, Samarinda ditetapkan sebagai wilayah Rechtstreeks Gouvernemen Bestuur Gebied alias tempat kedudukan pemerintah Belanda dan merupakan daerah yang diperintah langsung oleh Belanda. Wilayah Samarinda yang juga distilahkan dengan Vierkante-Paal itu meliputi areal seluas ‡ 2 kilometer persegi, yang terbentang antara sungai Karang Asem Besar (Teluk Lerong) di hulu sampai sungai Karang Mumus di hilir, dengan jarak 500 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam. Status Vierkante-Paal Samarinda sebenarnya adalah pinjaman dari Kesultanan Kutai, tetapi kemudian diklaim rezim kolonial Belanda.

Tujuh tahun kemudian, tepatnya 28 April 1903, luas wilayah Vierkante-Paal ditambah lagi di bagian hilir dengan memasukkan Sungai Kerbau (sekarang termasuk Kelurahan Selili) dengan jarak 800 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam. Ketentuan ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 25 tanggal 28 April 1903 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum C.B. Nederburg.

Sekitar tahun 1870 La Jawa gelar Kapitan Jaya memimpin beberapa orang Bugis untuk membuka Kampung Bugis (di kawasan kantor Korem sekarang). Tahun 1880 La Makkaroe Daeng Masikki, seorang Bugis Bone, dihikayatkan membuka pemukiman di Kampung Jawa. Sementara itu, orang-orang Banjar tidak membentuk kampung khusus Banjar karena penyebaran mereka merata di wilayah Samarinda dan Kesultanan Kutai.

Seterusnya kedatangan etnis Tionghoa tahun 1885 ditempatkan di sekitar Pelabuhan (sekarang meliputi kawasan JI. Yos Sudarso dan JI.

Mulawarman). Setelah itu berdatangan pula etnis lainnya seperti Arab, India, Jawa, Sumatera, dan lain-lain. Kemudian Belanda membangun perkantoran di sekitar kawasan kantor Gubernur sekarang sebagai pusat pemerintahan.

Samarinda sebagai pusat pemerintahan berkembang pesat dengan fasilitas kantor, jalan umum, dan lainnya. Semuanya merupakan daya tarik bagi pemukim baru untuk menetap di kota ini. Kawasan Samarinda yang di seberang (Palarang) tidak berkembang lagi. Dengan peranan Palarang yang sudah tergantikan oleh kawasan di seberangnya maka tercetuslah istilah Samarinda Seberang untuk wilayah Palarang dan Samarinda untuk wilayah pusat kota dan pemerintahan.

Pada tanggal 3 Februari 1942, Belanda menyerahkan kekuasaan pemerintahan di Samarinda kepada balatentara Jepang. Tak seperti daerah lainnya, Pemerintah Hindia Belanda di Samarinda menyerah kepada Jepang tanpa perlawanan.

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945 dan Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Samarinda dengan membonceng pasukan sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang. Pada tanggal 1 Januari 1946, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda membentuk Keresidenan Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda. Residen atau kepala pemerintahan Kaltim pertama adalah F.P. Heckman.

Dalam rentang waktu 1945 hingga 1949 rakyat Samarinda melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ada dua strategi perlawanan yang dipakai, yaitu jalur diplomasi dan jalur gerakan bersenjata. Aktivitas politik diplomasi dilakukan oleh partai lokal Ikatan Nasional Indonesia (INI) dan Front Nasional, dengan tokoh utamanya Abdoel Moeis Hassan. Sementara itu, jalur gerakan bersenjata ditempuh oleh para pemuda dengan mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) setelah berkoordinasi dengan rombongan BPRI dari Banjarmasin

Otoritas pemerintahan Belanda di Samarinda benar-benar berakhir pada 27 Desember 1949 sesuai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB)

di Den Haag yang mengharuskan Belanda menyerahkan kekuasaan kepada Republik Indonesia pada tanggal tersebut.

Samarinda sejak dekade 1960-an dijuluki sebagai "pusat emas hijau". Predikat ini dilatarbelakangi oleh keadaan alam Samarinda dan sekitarnya yang memiliki hutan belantara sangat luas dengan jenis pepohonan berukuran besar yang cocok untuk bahan bangunan dan industri.

Selengkapnya
Icons Images

718km²

Luas Wilayah Samarinda

Icons Images

861.878rb

Jumlah Penduduk

Icons Images

10

Wilayah Kecamatan

Icons Images

59

Wilayah Kelurahan

Kecamatan

Kecamatan Palaran

Palaran, Samarinda Luas 221.29 Km²

Kecamatan Palaran adalah salah satu kecamatan di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia. Kecamatan Palaran adalah kecamatan terluas kedua di Samarinda. Mayoritas penduduknya berasal dari suku Bugis dan Jawa Transmigran. Kecamatan Palaran terdiri dari lima kelurahan: Simpang Pasir, Handil Bakti, Rawa Makmur, Bukuan, dan Bantuas. 

Di Kecamatan Palaran terdapat pelabuhan yang berfungsi sebagai pintu gerbang pengiriman logistik dari Kota Samarinda dan Kawasan Hulu Mahakam ke Surabaya, Jakarta, dan sebaliknya. Kelurahan Bukuan ditetapkan sebagai lok...

Selengkapnya
Kecamatan

Kecamatan Loa Janan Ilir

Loa Janan Ilir, Samarinda Luas 26.13 Km²

Loa Janan Ilir adalah salah satu kecamatan di Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Loa Janan Ilir merupakan hasil pemekaran dari kecamatan Samarinda Seberang pada tanggal 28 Desember 2010. Terhitung 01 Januari 2011 Loa Janan Ilir, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 02 Tahun 2010 tentang Pembentukan Kecamatan Sambutan, Kecamatan Kota, Kecamatan Sungai Pinang, dan Kecamatan Loa Janan Ilir dalam Wilayah Kota Samarinda.
Kecamatan Loa Janan Ilir terdiri dari 5 kelurahan, antara lain:
1.      Harapan Baru
2....

Selengkapnya
Kecamatan

Kecamatan Samarinda Ilir

Samarinda Ilir, Samarinda Luas 17.18 Km²

Kota Samarinda dibentuk berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1959 dan didirikan pada tanggal 21 Januari 1960, berdasarkan Undang – Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, Lembaran Negara Nomor 97 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah – Daerah Tingkat II Kabupaten / Kotamadya di Kalimantan Timur.
Semula Kodya Dati II Samarinda terbagi atas 3 kecamatan, yaitu: Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang. Kemudian dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur No. 18/SK/TH-Pem/1969 dan SK No. 55/TH-Pem/SK/1969, terhitung...

Selengkapnya
Kecamatan

Kecamatan Samarinda Kota

Samarinda Kota, Samarinda Luas 11.12 Km²

Samarinda Kota adalah salah satu kecamatan di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia. Kecamatan ini dibentuk pada tanggal 28 Desember 2010 berdasarkan Perda Nomor 02 tahun 2010. Ada 1 kelurahan yang sebelumnya masuk ke dalam wilayah administrasi Samarinda Ulu dan 4 kelurahan yang sebelumnya ke dalam wilayah administrasi Samarinda Ilir yang masuk ke dalam wilayah kecamatan Samarinda Kota. Kelurahan yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Samarinda Kota adalah :
1. Kelurahan Bugis
2. Kelurahan Karang Mumus
3. Kelurahan Pelabuhan
4. Kelurahan Pasar Pagi Selengkapnya

Kecamatan

Kecamatan Samarinda Seberang

Samarinda Seberang, Samarinda Luas 12.49 Km²

Orang Samarinda zaman dulu beranggapan seberang itu adalah sebuah kampung atau pedesaan. Memang tak bisa dimungkiri kata seberang bagi warga Kaltim identik sekali dengan istilah dusun. Namun di beberapa tahun terakhir ini imej ini berubah drastis menjadi anggapan bahwa seberang bukan lagi kampung melainkan "Kota Masa Depan", bahkan bis a dikatakan bila Samarinda Seberang saat ini merupakan kota baru yang lebih modern dibanding kota lamanya. Hal ini dibuktikan mengenai perkembangan Samarinda Seberang, Palaran, dan Loa Janan yang berpenduduk lebih dari 200.000 jiwa dari 5 tahun terakhi...

Selengkapnya
Kecamatan

Kecamatan Samarinda Ulu

Samarinda Ulu, Samarinda Luas 22.12 Km²

Samarinda yang dikenal sebagai kota seperti saat ini dulunya adalah salah satu wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Di wilayah tersebut belum ada sebuah desa pun berdiri, apalagi kota. Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan sungai Karang Asam.
Pada tahun 1668, rombongan orang-orang Bugis Wajo yang dipimpinLa Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan Gowa keKesultanan Kut...

Selengkapnya
Kecamatan

Kecamatan Samarinda Utara

Samarinda Utara, Samarinda Luas 229.52 Km²

Samarinda Utara adalah salah satu kecamatan di Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. berada di Kelurahan Lempake. Umumnya yang mendiami kecamatan Samarinda Utara adalah transmigran dari Jawa. Kecamatan ini merupakan kecamatan dengan wilayah paling luas di Kota Samarinda dan disinilah letak Bandar Udara APT Pranoto berada. Di kecamatan ini terdapat sebuah desa budaya bernama Desa Pampang sebagai desa budaya adat Dayak.  
Batas-batas wilayah
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Kutai...

Selengkapnya
Kecamatan

Kecamatan Sambutan

Sambutan, Samarinda Luas 100.95 Km²

Kecamatan Sambutan adalah salah satu dari sepuluh wilayah kecamatan yang berada di Kota Samarinda Propinsi Kalimantan Timur terletak kurang lebih 5 Km sebelah timur dari pusat Pemerintahan Kota Samarinda yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2010 dengan batas batas sebagai berikut :
SebelahUtara   
  :   berbatasan   dengan   Kecamatan   Sungai   Pinang dan  Samarinda  Utara.
Sebelah&...

Selengkapnya
Kecamatan

Kecamatan Sungai Kunjang

Sungai Kunjang, Samarinda Luas 43.04 Km²

Kecamatan Sungai Kunjang, Kota Samarinda merupakan pemekaran dari Kecamatan Samarinda Ulu yang didasarkan pada Peraturan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1996. Kecamatan Sungai Kunjang awalnya terdiri dari 4 (empat) Kelurahan dan 1 (satu) Desa, yaitu :
            1. Kelurahan Loa Bakung
            2. Kelurahan Karang Asam
            3. Kelurahan Lok Bahu
       &nbs...

Selengkapnya
Kecamatan

Kecamatan Sungai Pinang

Sungai Pinang, Samarinda Luas 34.16 Km²

Kota Samarinda dibentuk dan didirikan pada tanggal 21 Januari 1960, berdasarkan UU Darurat No. 3 Tahun 1953, Lembaran Negara No. 97 Tahun 1953 tentang Pembentukan daerah-daerah Tingkat II Kabupaten/kotamadya di Kalimantan Timur.

Semula Kodya Dati II Samarinda terbagi dalam 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang. Kemudian dengan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Timur No. 18/SK/TH-Pem/1969 dan SK No. 55/TH-Pem/SK/1969, terhitung sejak tanggal 1 Maret 1969, wilayah administratif Kodya Dati II Samarinda ditambah denga...

Selengkapnya
split Images
Shape Images

Berapakah Jumlah Penduduk Kota Samarinda?

Berdasarkan Data Administrasi Kependudukan Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, Penduduk Kota Samarinda pada tahun 2023 sebanyak 861.878 jiwa.

Kecamatan Penduduk (ribu) Laju Pertumbuhan Penduduk
Tahun 2022–2023

Palaran

66.912

2,63%

Samarinda Ilir

69.766

-0,59%

Samarinda Kota

32.379

-1,34%

Sambutan

62.429

3,35%

Samarinda Seberang

65.796

0,74%

Loa Janan Ilir

69.396

2,02%

Sungai Kunjang

139.320

2,20%

Samarinda Ulu

133.331

0,17%

Samarinda Utara

112.076

2,78%

Sungai Pinang

110.473

1,06%

Sosial & Kesejahteraan Rakyat

Samarinda, kota penuh harmoni, mengutamakan pendidikan berkualitas, layanan kesehatan merata, dan kehidupan beragama yang toleran, menciptakan kesejahteraan sosial demi masyarakat sejahtera dan berdaya saing.

Blog Images

Pendidikan

Dinas Pendidikan

Blog Images

Kesehatan

Dinas Kesehatan

Blog Images

Kerukunan Agama

Kementrian Agama Samarinda

Jumlah Sekolah

BPS 2023 - 2024

00

Sekolah Negeri

BPS 2023 - 2024

00

Sekolah Swasta

BPS 2023 - 2024

00

SEKOLAH

Negeri

Swasta

TamanKanak-Kanak(TK)

12

198

Raudatul Athfal (RA

-

34

Sekolah Dasar

163

63

Madrasah Ibtidaiyah (MI)

2

28

Sekolah Menengah Pertama (SMP)

49

50

Madrasah Tsanawiyah (MTs)

1

38

Sekolah Menengah Atas (SMA)

18

25

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

22

28

MadrasahAliyah (MA)

2

14